Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) memperkirakan industri makanan dan minuman dalam negeri mulai menaikkan harga produk mereka tahun depan seiring dengan kenaikan harga bahan baku.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman mengatakan kenaikan harga produk makanan dan minuman di tingkat konsumen itu sulit dihindari oleh pelaku usaha.
Bahkan, rencana pemerintah untuk memasukkan biaya input harga kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dunia sebagai salah satu variabel penentu besaran harga minyak goreng turut menaikkan harga bahan baku secara signifikan.
“Menurut saya sulit dihindari kenaikkan harga ritel. Sekarang dunia sudah saling terkait dan bergantung. Bukan hanya minyak goreng, hampir semua bahan pangan naik,” kata Adhi melalui pesan tertulis kepada Bisnis, Jumat (22/10/2021).
Menurut Adhi, industri makanan dan minuman dalam negeri sudah berupaya untuk menahan harga di tingkat konsumen seiring kenaikan bahan pangan dunia pada tahun ini. Konsekuensinya, arus kas perusahaan terkait menjadi tidak sehat.
“Diperkirakan tahun depan banyak yang akan menaikkan harga. Selain krisis, tentu ada penyesuaian PPN menjadi 11 persen, biaya tenaga kerja naik juga,” kata dia.
Ihwal rencana CPO sebagai penentu HET minyak goreng, dia meminta Kementerian Perdagangan memastikan agar kebijakan itu tidak menyebabkan harga bahan baku mengambang. Akan tetapi, kata dia, HET itu mesti disesuaikan dengan kisaran harga global sebagai pertimbangan harga jual dalam negeri.
“Dengan demikian, pemerintah bisa mengontrol harga, dan pelaku usaha tidak sampai rugi, minus margin,” kata dia.
Kementerian Perdagangan berencana untuk memasukkan biaya input harga kelapa sawit mentah atau CPO dunia sebagai salah satu variabel penentu besaran harga minyak goreng di dalam negeri.
Rencana itu mencuat setelah sejumlah industri hilir atau olahan CPO seperti Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) meminta Kemendag menyesuaikan harga minyak goreng di tingkat konsumen.
Alasannya, harga eceran tertinggi atau HET yang dipatok Rp11.000 per liter saat ini tidak mencerminkan biaya produksi yang relatif tinggi mengikuti harga bahan baku utama tersebut.
Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Kemendag Isy Karim mengatakan kementeriannya masih berupaya untuk melakukan evaluasi terhadap HET tersebut yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.
“Perhitungan harga acuan ke depan diformulasikan dengan memasukkan biaya input harga CPO dunia sebagai salah satu variabel penentu besaran harga minyak goreng sehingga harga acuan nantinya akan fleksibel mengikuti harga bahan baku,” kata Isy Karim melalui pesan tertulis kepada Bisnis, Rabu (20/10/2021).
Berdasarkan catatan Kemendag pekan ini, harga eceran nasional untuk minyak goreng sebesar Rp14.800 per liter atau naik 4,96 persen jika dibandingkan bulan lalu. Selain itu harga minyak goreng kemasan berada di harga Rp16.700 per liter atau naik 2,45 persen dari bulan lalu.
Dia menerangkan tren itu mengikuti harga bahan baku yakni CPO di pasar internasional yang mengalami kenaikan mencapai 9,66 persen secara bulanan.
“Untuk itu, guna menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri kami akan terus berkoordinasi dengan asosiasi produsen minyak goreng agar tetap menjaga pasokan minyak goreng dalam rangka stabilisasi harga,” kata dia.
Adapun stok minyak goreng per 15 Oktober 2021 mencapai 628.300 ton yang dimiliki oleh produsen anggota GIMNI, sementara stok minyak goreng milik Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) sebesar 405,09 ton. Dengan demikian, total stok minyak goreng nasional mencapai 628,70 ribu ton dengan ketahanan mencapai 1,49 bulan.