JAKARTA, KOMPAS.com – Tingkat inflasi pangan secara global tengah berada dalam tren penurunan. Meskipun demikian, data Bank Dunia (World Bank) menunjukkan, tingkat inflasi pangan domestik banyak negara masih tinggi, imbas dari berlanjutnya ketidakpastian ekonomi dunia.
Laporan Food Security World Bank periode November 2022 menyebutkan, tingkat inflasi domestik yang datanya diambil dari laporan indeks harga konsumen (IHK) tiap negara masih tinggi di mayoritas negara berpendapatan rendah, menengah, hingga tinggi.
Hal itu tercermin dari data yang menunjukkan 83,3 persen negara berpendapatan rendah, 90,7 persen negara berpendapatan menengah, serta 95 persen negara berpendapatan menengah ke atas, masih mencatatkan tingkat inflasi pangan di atas 5 persen, bahkan sebagian besar angkanya dua digit.
Jika dilihat berdasarkan wilayahnya, negara di kawasan Afrika menjadi yang paling terdampak inflasi pangan. Banyak negara mencatatkan inflasi di rentang 50 hingga 30 persen, bahkan ada yang melebih 30 persen. Setelah Afrika, Amerika Utara menempati peringkat kedua kawasan paling terdampak inflasi pangan, diikuti Amerika Latin, Asia Selatan, Eropa, dan Asia Tengah.
Adapun negara dengan tingkat inflasi tertinggi secara tahunan (year on year/yoy) hingga awal November 2022 adalah sebagai berikut:
Zimbabwe 321 persen Lebanon 208 persen Venezuela 158 persen Turkiye 99 persen Argentina 87 persen Sri Lanka 86 persen Iran 84 persen Rwanda 41 persen Suriname 40 persen Laos 39 persen
Tingginya harga komoditas pangan di banyak negara diikuti oleh harga bulir padi-padian yang masih tinggi dan fluktuatif. Berdasarkan laporan teranyar Agricultural Market Information System (AMIS) Market Monitor, ketidakpastian kelanjutan kesepakatan Black Sea Grain Initiative menjadi salah satu penyebab harga bulir menjadi sangat volatil.
International Grains Council Grains and Oilseeds Index menunjukkan, harga bulir meningkat 1 bulan secara bulanan pada Oktober lalu. Ini diikuti dengan kenaikan harga gandum sebesar 3 persen.
“Dipengaruhi oleh meningkatnya ketegangan Rusia dan Ukraina, serta kabar penarikan sementara Rusia dari keberlanjutan Black Sea Grain Initiative,” tulis laporan tersebut.