RM.id Rakyat Merdeka – Pemerintah terus mencari negara sahabat yang mau menjual cadangan berasnya. Salah satunya melobi India untuk bisa mengirimkan 1 juta ton beras ke Indonesia.
Hal itu dilakukan untuk menambah cadangan beras Pemerintah guna mengantisipasi krisis pangan akibat kondisi geopolitik.
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan alias Zulhas memastikan India sudah bersedia mengirim beras ke Indonesia.
Hal itu dipastikan Zulhas usai bertemu dengan Menteri Perdagangan dan Industri Shri Piyush Goyal, terkait impor beras, di sela Pertemuan Tingkat Menteri Perdagangan Negara G7 (G7 Trade Ministers’ Meeting/G7 TMM) di Osaka, Jepang, Minggu (29/10/2023).
“Saya ketemu Menteri Piyush kemarin di Jepang, akan dikasih beras, tidak perlu khawatir. Saya sudah mengirim surat dan minta sejuta ton, tapi berapapun nanti yang bisa diberikan, kita terima,” ujar Zulhas menanggapi isu terkait kesulitan Indonesia mendapatkan impor beras, Rabu (1/11/2023).
Zulhas mengatakan, dunia sedang menghadapi situasi yang sulit akibat adanya perang geopolitik dan fenomena El Nino yang mengakibatkan sejumlah negara menahan stok komoditas.
“Dampaknya luar biasa, harga pangan, bukan hanya naik, tapi meroket. Selain itu, negara-negara menahan stok dan tidak boleh melakukan ekspor pangan,” jelasnya.
Presiden Jokowi bercerita kepada ratusan kepala daerah betapa sulitnya mengimpor beras di tengah ganasnya El Nino.
Jokowi mengatakan, dulu banyak orang meremehkan ancaman perubahan iklim. Kini, semuanya mulai menjerit saat produksi beras dalam negeri anjlok imbas kekeringan di 7 provinsi Indonesia.
“Mencari beras impor tidak semudah dulu, 22 negara sudah stop dan mengurangi ekspornya karena mereka juga ingin menyelamatkan rakyatnya. Situasi seperti ini bapak ibu (kepala daerah) semuanya harus ngerti dan paham bahwa dunia tidak sedang baik-baik saja,” kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Senin (30/10/2023).
Karena itu, Jokowi meminta Penjabat (Pj) kepala daerah sadar bahwa kondisi sekarang tidak mudah. Dia meminta para Pj gubernur hingga bupati/wali kota mewaspadai gejolak inflasi, utamanya di sektor pangan.
Jokowi merinci, inflasi di tingkat provinsi berkisar di level 1,1 persen-3,5 persen, kabupaten 1,1 persen hingga 5,2 persen, dan kota di rentang 1,1 persen-4,2 persen. Ia lantas meminta pemerintah kabupaten dan kota hati-hati.
Kalau Pemerintah Daerah memiliki kemampuan, segera intervensi pasar agar inflasi bahan pangan ini tidak semakin naik.
“Oleh sebab itu, lihat pasar itu penting, lihat stoknya di kabupaten kota dan provinsi, cek dan lihat. Jangan terjebak rutinitas sehari-hari, administrasi, yang penting-penting itu kita harus cek terlebih dahulu. Urusan harga tolong betul-betul dikendalikan. Jaga pasokan, pantau harga, turun ke lapangan,” pintanya.
Presiden menegaskan, Pemda bisa menggunakan dana Belanja Tidak Terduga (BTT) di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk menurunkan inflasi. Caranya, dengan mensubsidi biaya logistik agar harga pangan tetap terjangkau.
Selain itu, Jokowi meminta para kepala daerah mengimbangi bantuan sosial yang diberikan Pemerintah Pusat. Menurutnya, bansos beras 10 kilogram per bulan dari negara akan lebih baik jika diikuti bansos lainnya dari daerah.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono menilai, Pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan soal ketahanan pangan, terutama isu swasembada beras.
Sebab, sebagai salah satu negara pengimpor beras terbesar, Yusuf menilai Indonesia rentan mengalami krisis pangan.
Dia menilai, ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan masih sangat tinggi. Dan proyeksi impor beras 3,5 juta ton tahun ini akan menjadi yang tertinggi pasca krisis 1997.
Angka ini juga melampaui impor beras 2,25 juta ton pada 2018. Menurut dia, hal ini menjadi ironis karena baru pada 2022, Indonesia menerima penghargaan internasional karena dipandang mampu swasembada beras periode 2019-2021.
“Indonesia hingga kini belum mampu swasembada beras. Dan di masa El Nino, kegagalan tersebut harus dibayar mahal dengan lemahnya ketahanan pangan Indonesia,” ingat Yusuf.
Menurutnya, selama tidak mampu swasembada beras, Indonesia akan terus terekspos dengan risiko impor beras.
Sebagai salah satu negara importir pangan terbesar di dunia, Yusuf mengatakan Indonesia tak terhindarkan akan selalu terekspose dengan risiko politik proteksionisme pangan global.
Selain itu, banyak pihak yang telah lama mengingatkan bahwa bergantung pada pasar pangan global memunculkan kerentanan tinggi pada ketahanan pangan kita.
Dia menekankan kerentanan terbesar datang dari ketidakpastian pasokan dan harga pangan internasional. Indonesia sudah pernah mengalaminya pada saat krisis harga pangan global 2008.
“Saat itu, terutama harga beras di pasar internasional melonjak tinggi akibat gagal panen, spekulasi di pasar komoditas. Dan politik pangan negara eksportir beras,” pungkasnya.
Sumber: https://rm.id/baca-berita/ekonomi-bisnis/195180/antisipasi-krisis-pangan-zulhas-india-siap-kirim-beras/3