Prospek Singkong Sebagai Cadangan Pangan Nasional

Jakarta –

Kondisi ketersediaan pangan baik energi maupun protein selama 3 tahun terakhir telah melampaui ketersediaan energi dan protein ideal, di mana masing-masing sebesar 2.400 kkal/kapita/hari dan 63 gram/kapita/hari. Bahkan pada tahun 2020, capaian konsumsi energi dan protein nasional telah melampaui anjuran, yakni 2.112 kkal/kap/hari untuk energi dan untuk protein sebesar 62,05 gram/kap/hari.

Namun demikian, ketahanan pangan nasional di masa datang akan menghadapi tantangan besar, dengan tingginya pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,36% per tahun (periode 2010-2016), sehingga diprediksi akan mencapai 306 juta jiwa pada tahun 2035 (BPS, 2013). Berdasarkan angka ini, kita akan memerlukan kurang lebih 43 juta ton/tahun setara beras pada tahun tersebut. Jumlah yang sangat besar jika dihitung dengan produksi beras nasional saat ini yang mencapai 31 juta ton, dan pertumbuhan produksi yang rata-rata hanya di kisaran 1% (BPS, 2020).

Lebih lanjut, peningkatan produksi padi melalui intensifikasi mengalami banyak kendala yang ditunjukkan adanya pola levelling-off dari provitasnya. Sedangkan pencetakan sawah baru tidak akan semudah yang dibayangkan, dengan tingkat kesesuaian lahan yang ketat menjadikan lahan yang layak untuk tanaman padi sangat terbatas, serta diperlukan biaya dan waktu yang besar untuk mendapatkan provitas yang optimal.

Kekurangan dari sumber karbohidrat, saat ini, telah dipenuhi dari impor gandum yang mencapai 10 juta ton untuk pangan dengan nilai US$ 2,799 miliar pada tahun 2019. Nilai ini akan terus berkembang, seiring dengan penerimaan masyarakat atas produk-produk makanan berbasis gandum, di mana Indonesia adalah negara yang mengkonsumsi mie terbesar ke-2 di dunia setelah China.

Sementara itu, Pandemi COVID-19 telah menyebabkan pembatasan pergerakan di dalam dan lintas negara yang dapat menghambat layanan logistik, mengganggu seluruh rantai pasok, dan mempengaruhi ketersediaan pangan nasional. Bahkan, beberapa negara telah melarang pelaksanaan ekspor bahan pangan mereka. Ketidakpastian ini telah mendongkrak kenaikan indeks harga pangan dunia di kisaran 20-30% (FAO, 2020). Tantangan ke depan menjadi lebih berat dengan munculnya ketegangan di Laut Cina Selatan yang memungkinkan timbulnya ancaman bagi importasi bahan pangan.

Adanya ketidakpastian ini memerlukan mitigasi yang baik, salah satunya melalui peningkatan cadangan pangan nasional. Saat ini, total cadangan beras nasional sebanyak 1,16 juta ton yang terdiri atas Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1,1 juta ton dan beras komersial sebanyak 14.000 ton, seperti diutarakan Direktur Utama Perum Bulog saat dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR, Senin (30/8/2021). Nilai ini menunjukkan bahwa ketercukupan cadangan beras nasional yang dikuasai Pemerintah Pusat (cq Bulog) hanya cukup untuk 2 minggu bagi 270 juta jiwa penduduk Indonesia. Angka ini sangat jauh dibandingkan dengan negara-negara lainnya seperti Thailand yang mempunyai cadangan pangan untuk 143 hari, India 151 hari, dan Cina 449 hari.

Strategi peningkatan cadangan pangan nasional mesti dilakukan melalui program pengadaan pangan di lahan yang belum dikelola secara optimal, dan dengan investasi yang relatif murah serta waktu yang cepat untuk dikonversi menjadi lahan produktif. Dari total lahan sebanyak 58 juta hektar hanya sekitar 18 persen pertanian Indonesia yang tergolong subur dan optimal, selebihnya merupakan lahan sub-optimal dengan kendala agronomis beragam. Tanaman padi memerlukan kondisi lahan optimal sebagai syarat untuk menghasilkan provitas yang tinggi, yang tentu saja akan memerlukan investasi yang besar dan waktu yang lama untuk mengubah lahan sub-optimal menjadi lahan optimal. Sehingga kita perlu mencari komoditi lain yang lebih tepat.

Komoditi singkong dapat dipilih untuk cadangan pangan, karena tanaman singkong mempunyai daya adaptasi lingkungan yang tinggi. Singkong dapat tumbuh di lahan-lahan sub-optimal dengan provitas tinggi, sehingga investasi pengadaan lahan dan infrastruktur produksi singkong jauh lebih rendah dibandingkan tanaman lainnya. Dengan produksi nasional mencapai 19 juta ton (2018), Indonesia menduduki ranking ke-4 produsen singkong dunia. Namun, Indonesia juga harus melakukan impor singkong dalam bentuk tapioka sebesar 348 ribu ton, atau kira-kira setara dengan 1,6 juta ton umbi pada tahun 2019. Ini menunjukkan volume perdagangan singkong yang besar, karena komoditi ini digunakan dalam industri dengan spektrum yang luas sebagai bahan pangan, pakan, kertas, farmasi dan bahan bioindustri lainnya. Spektrum aplikasi yang luas ini memudahkan bagi pelepasan dan penyaluran cadangan pangan setiap tahunnya. Fleksibilitas ini tidak dimiliki beras sebagai cadangan pangan.

Perlu Perencanaan Komprehensif

Untuk menjadikan singkong sebagai cadangan pangan nasional, tentu memerlukan perencanaan yang komprehensif melalui pengembangan hulu-hilir dan manajemen pengelolaannya. Dengan menggunakan asumsi tahun 2025 menambah 60 hari tenggat waktu cadangan pangan nasional, untuk 280 juta jiwa, dan Angka Kecukupan Karbohidrat (AKK) rerata 300 gram/hari/kapita karbohidrat, maka diperlukan 5 juta ton karbohidrat, atau setara dengan 20 juta ton singkong. Bentuk produk yang akan dihasilkan dari program ini adalah bahan baku pangan dari singkong berupa tapioka dan tepung MOCAF, yang selanjutnya produk tersebut difungsikan untuk mengganti impor tapioka dan menjadi tepung pendamping beras dan terigu pada produk pangan, serta berbagai produk turunan lainnya saat pelepasannya sebagai cadangan pangan.

Lahan yang diperlukan untuk memproduksi 20 juta ton singkong tersebut diperlukan seluas 1 juta hektar yang diperuntukkan baik untuk budidaya, infrastruktur usaha tani, lokasi pabrik, lokasi peternakan dan konservasi lingkungan. Disarankan, bahan cadangan pangan diproduksi dengan End to End System, untuk memastikan kontinuitas supply chain, menekan biaya produksi dan meningkatkan nilai tambah. Sistem ini akan menjalan prinsip-prinsip: 1) Budidaya singkong berkelanjutan, yang bercirikan meminimalisir perpindahan biomassa, penggunaan input organik, dan double track system dalam penanaman. 2) integrated farming antara budidaya – processing – pakan – peternakan – pupuk juga akan diterapkan, 3) Penerapan mekanisasi dan precision agriculture untuk meningkatkan efisiensi dari usaha tani, 4) Produksi intermediate product di lokasi yang sama dengan budidaya, 5) Sistem produksi derivatif tingkat satu di lokasi untuk meningkatkan nilai tambah.

Mengukur Dampak

Jika program ini dilaksanakan, diharapkan pada tahun 2025 akan tersedia cadangan pangan nasional untuk 60 hari sebesar 5 juta juta ton karbohidrat yang berupa tapioka dan MOCAF. Bahan ini dapat diubah dengan mudah ke dalam aneka produk pangan, mulai dari bakso, nugget, sosis, mie instan, biskuit dan lainya. Dalam bentuk tepung, bahan ini dapat diubah menjadi produk-produk untuk fortifikasi bagi pangan bencana, ibu hamil-menyusui, anak stunting, rawan gizi, ransum tentara dan keperluan lainnya. Selain target utama tersebut, tentunya akan menghasilkan dampak lainnya sebagai ikutannya.

Dengan tersedianya bahan karbohidrat yang kontinu, jumlah besar dan harga kompetitif, akan menyediakan bahan baku bioindustri senilai 26 triliun Rupiah/tahun. Hal ini akan memicu tumbuhnya industri turunan yang bernilai seperti monosodium glutamate, sorbitol, dan berbagai modified starch yang digunakan di industri pangan, pakan, kertas, tekstil, farmasi, kayu dan sebagainya. Serta tapioka dapat diubah menjadi gula cair yang saat ini impor, dan bioetanol sebagai sumber energi terbarukan. Produksi cadangan pangan yang diikuti dengan pertumbuhan industri turunan tersebut akan menyediakan lapangan kerja, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Program menjadikan singkong ini juga akan memicu munculnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di lahan-lahan marginal, sehingga pemerataan pembangunan juga akan terjadi. Penguasaan ilmu dan teknologi bioindustri hulu-hilir yang berbasis karbohidrat juga akan menjadi dampak penting lainnya, mengingat di tingkat internasional, teknologi karbohidrat singkong masih belum berkembang secara penuh, sehingga merupakan peluang bagi Indonesia untuk menguasainya. Saingan utama adalah Thailand yang telah maju lebih dahulu, dan memanfaatkan penguasaan teknologi tersebut untuk menjadi penguasa perdagangan singkong dunia, walaupun volume produksi masih di bawah Indonesia dan negara lainnya.

Tentu saja, dampak negatif patut diperhitungkan mulai dari disrupsi pasar singkong dan produk turunannya yang telah ada, masalah lingkungan atas pembukaan lahan dan sumber investasi. Dengan perencanaan yang baik dan management risiko yang terkendali dinyakini program ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara kuat dalam ketahanan pangan dan maju dalam bioindustrinya.

Achmad Subagio, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember