Menjinakkan Harga Minyak Goreng

Mengapa harga minyak goreng naik tinggi meskipun fakta menunjukkan Indonesia adalah produsen terbesar sawit dunia? Ini pertanyaan yang sering muncul.

Secara global, pemerintah menghadapi tekanan inflasi makanan yang sangat tinggi. Inflasi dari minyak makan (oilseeds) jauh melebihi inflasi pangan. Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menunjukkan, Indeks Pangan (Food Index) global naik dari 108,6 pada Desember 2020 menjadi 133,7 pada Desember 2021 atau kenaikan 23 persen selama setahun.

Sementara indeks untuk minyak makan (Oilseed Index) naik dari 131,2 pada Desember 2020 menjadi 178,5 atau kenaikan sebesar 36 persen selama setahun. Kenaikan harga oilseeds yang menjadi bahan baku minyak goreng mengakibatkan kenaikan tajam harga minyak goreng dari Rp 13.000 per liter menjadi Rp 19.000 per liter.

Ketatnya suplai minyak nabati (vegetable oils) dan pulihnya permintaan (demand) dunia telah menyebabkan hampir semua minyak nabati, seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), soya bean oil, rapeseed oil, dan sunflower oil, mencatat rekor harga tertinggi pada 2021. Pada pidato 3 Januari 2021, Presiden Joko Widodo memerintahkan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng domestik. Ditegaskan, prioritas utama pemerintah adalah menjaga kebutuhan rakyat. Harga minyak goreng harus tetap terjangkau.

Tantangan dari kebijakan ini adalah mencari keseimbangan antara kepentingan Indonesia sebagai produsen/eksportir sawit dunia dan keterjangkauan harga minyak goreng dalam negeri. Menciptakan harga pasar 2 tier seperti ini tidaklah mudah dan butuh kombinasi instrumen pengendalian yang tepat.

Pemerintah mencoba untuk mengatasi kenaikan harga. Harga minyak goreng, bawang merah, cabai, serta harga pupuk nonsubsidi dan harga energi, antara lain adalah yang menjadi perhatian utama pemerintah untuk dikendalikan, karena secara umum Indonesia menjadi salah satu negara yang level inflasinya relatif terkendali, justru ketika banyak negara lain—baik negara maju maupun negara berkembang—mengalami lonjakan angka inflasi.

Kenaikan harga minyak goreng menjadi salah satu topik hangat karena inflasi minyak goreng menjadi salah satu anomali ketika inflasi di Indonesia secara keseluruhan cenderung terkendali, bahkan turun.

Sejauh ini kebijakan intervensi melalui operasi pasar belum terlalu berhasil. Implementasi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 01 Tahun 2022 tetap berjalan dengan volume pre-order (PO) dari ritel modern tercatat sebanyak 19,23 juta liter dalam bentuk minyak goreng kemasan sederhana, tetapi realisasi hanya 380.008 liter (0,25 persen) dari target tiap bulan sebesar 200 juta liter atau 2,0 persen dari total PO yang diterbitkan oleh ritel modern.

Selain itu, kondisi harga minyak goreng saat ini rata-rata secara nasional masih tinggi, mencapai Rp 19.900/liter (kemasan sederhana Rp 18.900/liter, premium Rp 20.900/liter). Kedua intervensi ini belum mencapai hasil yang optimum sehingga diperlukan terobosan yang cepat dan relatif sederhana.

Apa esensi dari paket kebijakan pengendalian minyak goreng? Pertama, pemerintah memberlakukan harga eceran tertinggi (HET) untuk semua minyak goreng kemasan. Kedua, pemerintah memberlakukan larangan terbatas dengan tujuan untuk mendorong pihak produsen sawit untuk mendahulukan kebutuhan minyak goreng domestik sebelum melakukan ekspor.

Ketiga, pemerintah mencoba menciptakan sistem insentif dan disinsentif agar semua produsen, baik dari upstream (hulu) maupun downstream (hilir), sama-sama berkolaborasi mencari solusi dalam menjaga stabilitas dan ketersediaan minyak goreng domestik. Kebijakan ketiga ini berprinsip ”berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.

Mengapa pemerintah melakukan intervensi minyak goreng kemasan? Harga keekonomian dari minyak goreng relatif tinggi sehingga agar dapat menyelesaikan masalah tanpa mengganggu APBN negara dan tak memberatkan konsumen, pemerintah berencana menutupi selisih antara harga keekonomian dari produksi minyak goreng yang mencapai Rp 17.000/liter dengan HET sebesar Rp 14.000/liter, dengan menggunakan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Dana BPDPKS adalah dana ”dari industri untuk industri”. Dana BPDPKS didapatkan dari pungutan ekspor dan penggunaannya ditujukan untuk mendukung program strategis dari industri.

Untuk kepentingan akuntabilitas, pembiayaan dari BPDPKS hanya dapat dilakukan untuk minyak goreng kemasan dan minyak goreng kemasan sederhana saja. Dana BPDPKS agak sukar disalurkan untuk minyak goreng curah.

Kebijakan ini tentu saja mengundang beberapa kritik. Pertama, program ini seakan-akan menihilkan branding, di mana produk minyak goreng premium yang telah mempunyai brand dan reputasi disamakan harganya dengan minyak goreng kemasan sederhana yang kualitas dan pengemasannya lebih sederhana. Kedua, banyak pihak mengkritik, program ini juga menekan margin yang dinikmati produsen, distributor, ataupun pengecer secara signifikan. Ketiga, program ini juga dikritik karena memberatkan pelaku bisnis tertentu.

Untuk menjawab ketiga kritik ini, perlu penjelasan berikut. Pemerintah pernah mencoba untuk mendorong agar pihak swasta mendorong penyediaan minyak goreng kemasan sederhana guna mengisi kebutuhan akan minyak goreng. Namun, pada praktiknya, respons dari produsen minyak goreng sangat rendah. Sebagian dari mereka tidak tertarik atau kurang berkomitmen untuk berpartisipasi dalam program tersebut.

Menghadapi kondisi seperti ini, pihak Kementerian Perdagangan akhirnya mengambil pilihan kebijakan berupa price capping, memberikan insentif dari BPDPKS dan menerapkan larangan terbatas, dengan membuat minyak kemasan bermerek (branded) tersedia untuk masyarakat dengan harga terjangkau.

Kementerian Perdagangan berpandangan, untuk menyelesaikan masalah ini, semua pihak tidak bisa bersikap business as usual. Semua pihak diharapkan memberikan sumbangsih dan kontribusinya untuk bisa menyediakan minyak goreng dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat.

Periode intervensi itu sendiri diperkirakan tidak akan berlangsung permanen, sebab dari kurva harga CPO forward, terindikasi bahwa dalam jangka pendek dan menengah harga CPO akan turun sehingga bisa mengurangi tekanan harga yang ada.

Apa saja yang harus diwaspadai agar program ini dapat berjalan dengan lancar? Pertama, agar program ini bisa berjalan dengan baik, proses reimbursement dan proses administrasi untuk mendapatkan insentif dari BPDPKS harus dibuat agar relatif sederhana dan tidak berbelit-belit.

Kedua, tujuan dari larangan terbatas adalah mendorong pihak industri untuk mendukung ketersediaan bahan baku domestik. Harus diperhatikan bahwa larangan terbatas ini hanya bersifat sementara dan jangan sampai larangan terbatas ini justru memberikan sinyal bahwa Indonesia membatasi ekspor CPO sehingga akan makin mendorong kenaikan harga CPO itu sendiri. Ketiga, harus diperhatikan jangan sampai kebijakan ini justru menimbulkan distorsi pasar dan kelangkaan minyak goreng di pasar, terutama minyak goreng yang tak mendapatkan insentif dari BPDPKS, yaitu minyak goreng curah.

Pada 2021, Indonesia mencatat rekor dalam hal ekspor, yakni rekor ekspor tertinggi sepanjang sejarah. Indonesia juga mencatat surplus neraca perdagangan tertinggi sepanjang sejarah. Sektor sawit merupakan sektor yang sangat berkontribusi dalam pencapaian ini.

Apabila kita dapat menyelesaikan masalah stabilitas dan ketersediaan minyak goreng ini, Indonesia dapat lebih berfokus untuk makin mendorong perkembangan industri sawit, dari hulu hingga hilir. Untuk itu, kita semua perlu pengorbanan dalam jangka waktu pendek dan bergotong royong dengan mendahulukan kepentingan rakyat banyak dalam hal ketersediaan minyak goreng.

Sumber. kompas.id