Tahun 2022 Beras akan Surplus lagi

JAKARTA – Sempat naik tipis sekitar 0,5 persen menjelang Lebaran 2022, harga beras cepat melandai kembali.

Secara rata-rata nasional, harga beras kelas Super 1 anteng ada di level Rp13.100 per kg. Turun Rp 50 per kg dari posisi sepekan sebelumnya.

Harga Super 2 bertengger pada angka Rp16.650, kelas medium di Rp 11.750, dan jenis yang termurah Rp 10.400.

Harga beras stabil dan terjaga. Setidaknya, gambaran itulah yang terekam oleh Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan. Tentu ada variasi dari satu daerah dengan yang lain. Toh, hampir di semua daerah situasi harga beras itu terus stabil.

Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), unit kerja di bawah Bank Indonesia yang melakukan pemantauan harga pangan, juga mengonfirmasikan situasi tersebut. Tak ada lonjakan.

Pasokan beras nasional cukup aman. Perum Bulog menyatakan, kini stok beras di gudangnya bergerak di antara 1 hingga 1,5 juta ton. Jumlah itu cukup guna menjaga stabilitas harga dan pasokan secara nasional.

Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso bahkan merasa yakin betul tak perlu ada impor beras. ”Beberapa tahun terakhir ini Indonesia tidak impor beras. Mudah-mudahan sampai akhir tahun ini juga tidak impor,” ujar Budi Waseso.

Dalam catatannya, sejak 2019 Indonesia tidak mengimpor beras dari luar negeri.

Budi Waseso pun meyakini, stok di masyarakat cukup besar setelah panen raya yang cukup berhasil pada periode Maret–April 2022. Proyeksi produksi padi antara Mei–Desember 2022 pun akan cukup besar. “Jadi, stok beras ini akan terus bertambah,” ucap Budi Waseso.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal April 2022 membuat prediksi, produksi beras Indonesia pada empat bulan pertama 2022. Mencapai 25,4 juta ton gabah kering giling (GKG), yang setara dengan 14,63 juta ton beras. Ada kenaikan 7,7 persen dari tahun sebelumnya. Prediksi itu berdasar pada luas area tanam dan laporan tingkat risiko yang ada.

Kenaikan 7,7 persen itu berasal dari mundurnya musim tanam di sejumlah area di Jawa Timur dan Lampung. Sehingga masa panen yang sedianya terjadi di akhir 2021 bergeser masuk ke tahun 2022. Ketersediaan air juga cukup besar dan merata. Maka, luas panen pada periode Januari–April 2022 mencapai 4,8 juta ha, atau 8 persen lebih tinggi dari periode yang sama di 2021.

Meski ada sebagian yang bergeser masa panennya, data BPS berdasarkan Angka Tetap (ATAP) pada 2021. Luas panen padi mencapai sekitar 10,41 juta hektare dengan produksi sebesar 54,42 juta ton GKG.

Jika konversikan menjadi beras, maka produksi di 2021 mencapai 31,36 juta ton. Hasil panen itu memberi surplus 1,33 juta ton dari perkiraan kebutuhan konsumsi setahun yang sebesar 30,03 juta ton.

Dengan modal produksi 14,63 juta ton pada periode Januari–Maret, pengadaan beras tanpa impor di 2022 menjadi sangat mungkin, jika semua dapat berjalan normal. Tak ada anomali cuaca dan ledakan hama penyakit padi.

Catatan statistik dapat menunjukan bahwa hasil panen Januari–April biasanya menyumbang 38–40 persen dari produksi tahun berjalan.

Sementara realisasi 2022, panenan Januari–April ini telah menyumbang 48 persen dari konsumsi. Kekurangan 16 juta ton beras untuk konsumsi nasional agaknya tak akan sulit dipenuhu dari produksi Mei–Desember.

Ada variasi yang besar dalam produksi beras dari bulan ke bulan. Panenan terbesar terjadi di bulan Maret dan April. Hasil panen menyusut di sepanjang Mei, Juni, dan Juli. Lalu naik lagi pada Agustus-September meski hanya sekitar 50–60 persen dari panen Maret–April. Berikutnya, pada Oktober, November dan Desember. Areal panen sangat rendah, dan mulai meningkat pada Januari–Februari. Begitu siklusnya mengikuti ketersediaan air di sawah.

Dalam catatan Badan Pangan Nasional, ada stok beras (hasil produksi 2021) sebesar 5,27 juta ton yang masuk ke 2022 ini. Badan pangan pun memproyeksikan produksi beras di 2022 mencapai 31,68 juta ton. Walhasil, ketersediaan beras nasional di 2022 bisa mencapai 36,95 juta ton. Jika dikurangi dengan konsumsi yang 30,90 juta ton, maka akan ada stok 6,05 juta ton yang akan masuk ke tahun 2023. Bila kalkulasi ini sesuai, maka 2023 pun kemungkinan tak perlu impor beras.

Kementerian Pertanian menyatakan, salah satu kunci sukses atas swasembada beras ialah peningkatan produktivitas. Penciutan sawah produktif akibat konversi penggunaan lahan ternyata diimbangi dengan kenaikan produktivitas. Secara rata-rata, produktivitas sawah petani pada 2022 bisa mencapai 5,22 ton GKG/ha, meningkat dari tahun sebelumnya yang 5,12 ton/ha.

Surplus hasil pertanian itu kini semakin penting di tengah gejolak harga pangan dunia yang makin serius. Indeks harga pangan dunia meningkat, harga-harga pangan impor menjadi semakin mahal, sementara Indonesia masih mengimpor banyak produk pangan, mulai dari gandum, kedelai, susu, daging, bawang putih, dan gula.

Berita baiknya, menurut prognosa Badan Pangan Nasional, Indonesia terbantu oleh stok pangan hasil limpahan 2021. Memasuki 2022, ada stok limpahan jagung 720 ribu ton, yang cukup untuk membuat harga tidak bergolak di awal tahun.

Proyeksi produksi jagung tahun ini 16,6 juta ton, dan ditambah stok tadi, bisa menghasilkan surplus 1,58 juta ton, untuk dibawa masuk (carry over). Ia akan menjadi stok awal untuk kebutuhan jagung 2023.

Stok bahan pokok bawaan dari 2021 itu ada juga yang berupa kedelai (191 ribu ton), bawang putih (191 ribu ton), daging beku (sapi dan kerbau), gula pasir, dan sejumlah bahan pangan lainnya yang semuanya berguna untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan di awal tahun 2022.

Dari sejumlah bahan pokok itu, Organisasi Pangan Dunia (FAO) memberi peringatan soal kenaikan indeks harganya, utamanya pada produk sereal (jagung, beras, gandum, kedelai) dan susu. Namun, gula dan daging relatif stabil.

Sumber:MATA INDONESIA,