Hadapi Tantangan Pertanian Masa Depan, Kementan Ajak Milenial Terapkan IoT

AKURAT.CO Hantaman pandemi yang belum juga usai, menjadikan masyarakat harus tetap waspada, termasuk juga insan pertanian yang cukup tangguh selama pandemi Covid-19.

Di saat sektor lain mengalami kontraksi cukup dalam, sektor ini justru tumbuh dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Ekonomi nasional tumbuh 7,07% secara tahunan pada triwulan II 2021.

Untuk menjaga bahkan meningkatkan momentum tersebut, Kementerian Pertanian mengajak para petani muda untuk menerapkan Internet of Thing (IoT).

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengungkapkan, regenerasi sumber daya manusia di bidang pertanian kebutuhan yang amat sangat mendesak. Apalagi, banyak kaum muda belum banyak yang tertarik untuk menjadi petani.

Saat ini sebanyak 71% petani berusia lebih dari 45 tahun. Hanya 29% yang di bawah 45 tahun dengan jenjang Pendidikan yang apat dikatakan masih sangat rendah.

“Hal inilah yang menjadi concern Kementerian Pertanian. Kementan terus berupaya mewujudkan sumber daya manusia pertanian yang unggul, mandiri, dan modern melalui pendidikan dan pelatihan vokasi bagi petani, penyuluh, maupun generasi muda,” katanya.

“Tak hanya itu, lahirnya program Penumbuhan Wirausaha Muda Pertanian (PWMP), Program Youth Enterpreneur and Employment Support Services (YESS), hingga, KOSTRATANI,  Pengukuhan lebih dari 2000 Duta Petani Milenial dan Duta Petani Andalan (DPM/DPA)  diharapkan mampu untuk menjadi pendongkrak tak hanya jumlah namun juga kualitas regenerasi petani di Indonesia”, tambah SYL.

Mentan pun mengajak seluruh unit kerja di bawah Kementan untuk terus mendorong langkah tersebut agar kaum milenial makin tertarik ke sektor agrikultur baik dari sisi hulu hingga hilir.

Ia berharap petani di Indonesia harus jadi profesi yang menjanjikan dan menyejahterakan sehingga membuat generasi muda lebih berminat menekuni bidang tersebut.

“Menarik minat generasi muda menjadi petani tentu butuh kerja keras semua pihak, tidak hanya tanggung jawab Kementan. Sektor lainnya, termasuk pendidikan serta pemerintah daerah juga perlu dilibatkan,” tegasnya.

Sementara Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Dedi Nursyamsi, pada acara Project Planning and Oversight Program YESS tahun 2022 di Bogor (13/01), menambahkan sudah saatnya kebijakan di sektor ini lebih memihak petani.

Sehingga, profesi itu tidak lagi dianggap sebelah mata sebab anggapan selama ini yang berkembang di masyarakat, menjadi petani merupakan pekerjaan kasar yang sehari-hari mesti bergelut dengan lumpur dan berupah murah.

“Kita sebagai unit kerja yang bertanggung jawab atas SDM harus mampu mengubah pola pikir semacam ini. Bahwa menjadi petani bukan semata membajak sawah. Ia juga meliputi pengolahan, pengemasan, hingga pemasaran yang tentunya butuh skill dan sentuhan teknologi,” katanya.

Menurutnya, gambaran petani mengandalkan sistem yang lebih modern dan menggunakan teknologi bila perlu diajarkan sejak sekolah dasar.

“Citra petani yang berkubang lumpur semestinya ditinggalkan. Jangan lagi membangun imajinasi anak-anak, misalnya, menggambar gunung, hamparan sawah, kerbau, dan petani berlumpur,” ungkap Dedi.

Pria yang akrab disapa Prof, Dedi pun mengungkapkan hambatan lainnya yang juga mesti dibenahi ialah persoalan keterhubungan dan kesesuaian (link and match) antara pendidikan dan dunia kerja.

Banyak lulusan sarjana pertanian yang tidak bekerja sesuai bidangnya karena dunia industri belum banyak menyerap tenaga dan keahlian mereka. Tenaga mereka tidak terserap, bisa jadi lantaran kompetensi mereka yang dianggap belum mumpuni.

Oleh karena itu, pendidikan vokasi di bidang pertanian yang kini banyak dikembangkan di berbagai perguruan tinggi maupun institut pertanian, bisa menjadi salah satu solusi.

“Kita punya 6 Polbangtan, 1 PEPI dan 3 SMKPP yang fokus untuk mencetak SDM yang andal. Selain sebagai Job Seeker, mereka juga bisa menciptakan lapangan pekerjaan di sektor tersebut (Job Creator),” ujarnya.

Menurutnya, data Survei Angkatan Kerja Nasional, BPS menyatakan sebanyak 20,62% pemuda Indonesia bekerja di sektor pertanian pada Agustus 2020, naik dari periode sebelumnya yang berjumlah 18,43%.

Meski tidak terlalu signifikan, angka ini cukup menggembirakan dan perlu ditingkatkan agar semakin banyak generasi milenial yang tertarik menjadi petani. Dan Ini PR kita bersama. Sudah saatnya generasi milenial melanjutkan pembangunan pertanian di negara tercinta, dan ini harus dimulai dari sekarang, tidak esok atau lusa,” tegas Dedi.

Seperti diketahui bersama, saat ini Indonesia tengah menghadapi lonjakan jumlah penduduk yang akan mencapai puncaknya pada 2062.

Itu artinya, sektor pertanian pun harus berpacu dengan waktu seiring meningkatnya jumlah penduduk dan kian menyusutnya lahan yang beralih fungsi sebagai konsekuensi pembangunan. Itu artinya, regenerasi petani mendesak dilakukan jika kita tidak ingin terhindar dari krisis pangan di masa depan.

Penerapan IoT menjadi harga mati. Dengan diterapkannya IoT dalam mengelola sektor pertanian dari sisi hulu dapat mengatasi minimnya lahan pertanian hingga dapat meningkatkan produktivitas berkali-kali lipat.

“Tak hanya itu penerapan IoT di sisi hilir pun perlu dilakukan. Proses pengemasan produk yang baik akan meningkatkan kualitas dari produk tersebut hingga akhirnya kita dapat dengan bangga menjual produk hasil pertanian tak hanya untuk dalam negeri namun menembus pasar ekspor,” pesan Dedi.[TIM]