Mengulik Krisis Pangan Korut yang Diakui Kim Jong-un

Jakarta, CNN Indonesia – Korea utara (Korut) mengalami krisis pangan akut yang ditandai dengan melambungnya harga sejumlah barang-barang kebutuhan pokok.

Negara yang dipimpin Kim Jong-un itu dilaporkan terancam kehabisan bahan pangan pokok dalam waktu dua bulan mendatang. Kim Jong un pun sudah mengakui mengenai krisis pangan di negara tersebut.

“Situasi pangan rakyat semakin sulit karena sektor agrikultur gagal memenuhi rencana produksi gandum, dampak kerusakan akibat topan tahun lalu,” ujar Kim dalam rapat dengan komite pusat Partai Buruh, seperti dikutip kantor media pemerintah Korut, KCNA, Selasa (15/6).

Kim pun berjanji akan mengerahkan segala upaya di bidang pertanian tahun ini. Ia juga akan membicarakan berbagai cara untuk menangani dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor pangan. Pun, dia memerintahkan jajaran pemerintahannya untuk mempelajari langkah-langkah antisipasi guna meminimalkan dampak bencana, berkaca dari yang sudah terjadi.

Mengutip News Week, krisis pangan itu diduga salah satunya terjadi karena impor bahan makan dari China turun hingga 90 persen.

Seperti dikutip dari CNN, di Pyongyang, harga beberapa barang pokok dilaporkan meroket. Para ahli mengatakan harga beras dan bahan bakar relatif stabil tetapi bahan pokok impor seperti gula, minyak kedelai dan harga tepung merangkak naik.

Bahan pokok yang diproduksi secara lokal juga melonjak dalam beberapa bulan terakhir. Penduduk Korut mengatakan harga kentang naik tiga kali lipat di pasar Tongil.

Organisasi Pangan Dunia di bawah PBB (FAO) baru-baru ini memperkirakan Korea Utara kekurangan sekitar 860.000 ton makanan, atau setara dengan lebih dari dua bulan pasokan nasional.

Tak hanya tahun ini, Korea Utara juga dilaporkan pernah mengalami krisis pangan parah pada 1990an. Saat itu, lebih dari 3 juta warga tewas akibat kelaparan.

Lalu bantuan internasional pun berdatangan, tak terkecuali dari Amerika Serikat, musuh utama Korut.

Pada 1995-1996 Korut kembali mengalami krisis pangan akibat banjir besar. Imbas bencana itu, 330 ribu hektare lahan pertanian hancur dan 1,9 juta ton beras atau bahan pangan tak bisa dikonsumsi, kerugian pun ditaksir mencapai US $15 atau sekitar Rp216 triliun.

Namun situasi semakin buruk, saat rezim Korut menerapkan kebijakan songun untuk menanggulangi keadaan tersebut. Lembaga yang mengatur pangan masyarakat, hanya mampu memenuhi kebutuhan 6 persen untuk mereka. Sehingga ada 3,5 juta penduduk mengalami kelaparan dan malnutrisi.

Di satu sisi, penerapan sistem kelas songun yang menempatkan militer sebagai prioritas dianggap menjadi penyebab meluasnya kelaparan di kalangan sipil. Padahal berbagai pihak internasional telah membantu negara itu.

Terhitung, dalam setahun bisa lima kali bantuan disalurkan.

Sayangnya, banyak warga yang tak menerimanya. Dari 90 persen bantuan yang ada, sebanyak 80 persen masuk ke pemerintah dan 10 persen ke kantong militer.

Tapi–mengutip dari kantor berita Korea Selatan, Yonhap, tiga pekan lalu–Kim Jong un disebut mulai meminggirkan songun dalam kebijakannya. Namun, belum terkonfirmasi sepenuhnya apakah memang Kim Jong un akan melepas kebijakan yang diterapkan ayahnya, Kim Jong il tersebut.

Sebelum terjadinya krisis pangan, Korea Utara terlalu percaya diri bahwa negaranya mampu memproduksi bahan pangan untuk masyarakat. Bahkan saat dilanda banjir besar pada 1984, mereka mengirim 7.000 ton bahan pangan ke Korea Selatan.

Seperti pernah dilansir majalah pengetahuan ilmiah global National Geographic, diyakini mundur ke empat puluh tahun lalu, yakni pada 1948 diyakini sebagai awal mula kelaparan di Korea Utara.

Kondisi iklim serta lahan pertanian di Korea Utara tidak cocok untuk memproduksi makanan, sehingga negara yang baru terbentuk itu mengandalkan bantuan makanan dan bahan bakar yang murah dari Uni Soviet.

Beberapa tahun setelahnya, Uni Soviet runtuh, Korut seperti kalang kabut dan tak punya lagi pegangan.