Menghadapi Krisis Pangan Global

Jakarta – Krisis pangan global di depan mata, itu bukan pernyataan isapan jempol. Hari ini dunia diterpa oleh tiga fenomena C beruntun yang berimplikasi pada munculnya krisis pangan global. Tiga C itu adalah Climate change, COVID-19, dan Conflict. Sebelum terjadi Konflik Ukraina harga pangan sudah didorong ke atas oleh berbagai faktor, terutama kekeringan sebagai imbas dari climate change yang mempengaruhi negara-negara penghasil tanaman utama dan guncangan rantai pasokan pangan akibat pandemi COVID-19.
Konflik (perang) Ukraina tidak diragukan memperparah dampak negatif dari guncangan produksi pangan global tersebut. Ketika pelabuhan Ukraina diblokade akibat konflik Rusia-Ukraina berdampak volume ekspor turun secara signifikan. Pada Juni 2020, Ukraina mengekspor tidak kurang dari satu juta ton gandum, jagung, dan barley menjadi 40 persen lebih rendah pada bulan yang sama pada 2021, menurut kementerian pertanian Ukraina.

Perang juga menyebabkan lonjakan harga BBM yang menimbulkan lonjakan harga energi kawasan Eropa. Imbas ikutannya memukul produksi pupuk nitrogen, nutrisi tanaman utama yang menimbulkan masalah kelangkaan input penting pertanian yakni pupuk. Ukraina sebagai negara eksportir besar untuk pasokan biji-bijian dan gandum mengalami kehilangan kemampuan suplainya akibat perang tersebut.

Melambungnya harga gandum dan biji-bijian berimbas pada kawasan dunia lain, mengapa? Harga gandum yang tinggi membuat lebih banyak konsumen dunia potensial beralih ke beras sebagai substitusi. Catatan pentingnya, hanya sekitar 10 persen dari total produksi biji-bijian global yang diekspor.

Dampak ikutan penting dengan naiknya harga gandum dan meningkatkan permintaan beras global akibat beralihnya konsumen gandum ke beras akan menyebabkan guncangan permintaan pangan pokok penting itu secara global. Dan, hal ini berpotensi menghadirkan restriksi ekspor oleh negara-negara eksportir pangan yang berdampak harga internasional pangan non gandum akan melambung tinggi

Ambil contoh beras, saat ini tingkat persediaan memang tinggi di negara-negara produsen terkemuka seperti India, Thailand, dan Vietnam. Kekhawatiran para pakar ekonomi pangan global adalah ketika kenaikan harga gandum menyebabkan konsumen global mensubstitusi gandum dengan beras, maka hal ini dapat menurunkan stok beras global yang ada. Selanjutnya akan memicu pembatasan ekspor oleh produsen beras utama dalam rangka menjaga kepentingan pangan nasional mereka menghadapi panic buying global dari meningkatnya harga gandum yang bisa menyebabkan harga beras dunia juga akan melambung tinggi.

Pengalaman menunjukkan pada 2007-08 pembatasan ekspor beras yang dilakukan oleh India dan Vietnam, dikombinasikan dengan pembelian panik oleh importir beras besar seperti Filipina, menyebabkan harga beras dunia naik lebih dari dua kali lipat.

Sumber : Detik.com