Jakarta, – Padi kini menjadi ancaman baru bagi ketahanan pangan global. Rendahnya curah hujan, menyempitnya lahan padi, serta tingginya permintaan ekspor di India membuat pasokan beras global menurun.
India merupakan eksportir terbesar beras di dunia dan berkontribusi 40% terhadap perdagangan beras global. Dilansir The Economic Times, ekspor beras India pada 2021 menembus 21,5 juta ton. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan gabungan ekspor dari Thailand, Vietnam, Pakistan, dan Amerika Serikat (AS).
India bukanlah produsen terbesar beras di dunia. Merujuk data World Economic Forum (WEF) pada 2019, China masih menjadi produsen beras di dunia dengan total produksi mencapai 211,4 juta ton disusul dengan India sebesar 177,6 juta ton kemudian Indonesia (54,6 juta ton).
Namun, konsumsi beras yang sangat besar membuat China dan Indonesia tidak mampu menjadi eksportir utama.
Dalam tiga tahun terakhir, lahan padi di India berkurang drastis, Tahun ini, lahan padi berkurang 13% karena kurangnya curah hujan, termasuk di Bengal Barat dan Uttar Pradesh. Kedua wilayah tersebut menyumbang 25% dari produksi padi India.
Lahan padi di enam wilayah produsen beras India berkurang hingga 3,7 juta hektare pada tahun ini, dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan lahan tersebut bisa mengurangi produksi hingga 10 juta ton.
Lahan yang terus berkurang bisa membuat panen berkurang dan harga beras domestik meloncat. Jika kondisi memburuk India bisa saja melarang ekspor beras seperti yang mereka lakukan pada gandum.
Sinyal lonjakan harga pada beras sudah terlihat. Harga beras di India sudah melonjak 30% sejak Juni. Selain permintaan dalam negeri, Lonjakan harga salah satunya dipicu oleh melonjaknya permintaan ekspor.
India memasok beras ke 100 negara mulai dari Nepal hingga Arab Saudi. Permintaan dari Bangladesh, Iran, Irak, dan Arab Saudi meningkat tajam sehingga ikut mengerek harga beras.
“Permintaan impor dari Bangladesh berdampak besar terhadap harga beberapa jenis beras di India. Beras sona masoori sudah melonjak 20%,” tutur BV Krishna Rao, presiden asosiasi eksportir beras India, kepada The Economic Times.
Sepanjang tahun ini, harga beras global relatif terjaga dibandingkan gandum atau komoditas lain. Melimpahnya pasokan menjadi salah satu faktor tersebut.
Berdasarkan data Trading Economics, harga beras di pasar futures sudah naik 13% sepanjang tahun ini dan melonjak 27% dalam setahun. Harga gandum sempat melonjak 50% pada Maret dan Mei tahun ini.
Namun, bank investasi Jepang Nomura mengingatkan harga beras terancam naik.
“Kami terus memonitor harga beras secara dekat. Jika harga gandum terus naik maka beras akan menjadi substitusi. Ini akan menurunkan stock beras dan bisa membuat produsen membatasi ekspor,” tutur seorang analis dari Nomura, kepada The Financial Times.
Nomura juga mengingatkan kenaikan dan ketersediaan pupuk bisa mengurangi produksi padi dan mengerek harga beras dunia.
Asia merupakan lumbung beras dunia. Data World Economic Forum menunjukkan produksi padi global sangat bergantung kepada wilayah Asia. Sebanyak 84% produksi beras global bergantung kepada 10 negara. Sepuluh negara tersebut semuanya berada di Asia, kecuali Brazil. Kondisi inilah yang menciptakan ketergantungan sangat besar.
Eksportir besar beras dunia adalah Thailand, India, Pakistan, dan Vietnam. Sementara itu, importir besarnya adalah Iran, China, Arab Saudi dan Filipina.
Merujuk data Departemen Pertanian AS (USDA), produksi padi pada 2021 mencapai 514,06 juta ton sementara ekspor hanya mencapai 51,40 juta ton. Artinya, hanya 10% dari produksi global yang diperdagangkan. Kondisi ini yang membuat pasokan beras bisa sangat ketat jika terjadi persoalan domestik di negara produsen.
Pada 2007-2008, India dan Vietnam pernah melakukan pembatasan ekspor beras. Keputusan mereka menimbulkan panic buying dan lonjakan harga hingga dua kali lipat.
USDA memperkiakan produksi beras global pada tahun ini akan mencapai 514,8 juta ton. Kenaikan produksi kemungkinan bakal terjadi di Australia, Bangladesh, Burma, India, Indonesia, Iran, Nepal, Nigeria, Pakistan, Sri Lanka, dan Thailand, Sementara itu, penurunan produksi akan terjadi di Ghana, South Korea, Madagaskar, Filipina, Rusia, Tanzania, dan AS.
Pasokan beras pada tahun ini diperkirakan akan menurun menjadi 182,8 juta ton, dari sebesar 190,7 juta ton pada tahun lalu. Penurunan pasokan akan terjadi di India, Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Pakistan, Peru, dan Sri Lanka.
Sementara itu, pada 2021, Indonesia memproduksi 54,42 juta ton gabah kering giling (GKG), turun 0,43% dibandingkan pada 2020 (54,65 juta ton). Kendati produksi turun atau hanya naik tipis, konsumsi beras juga cenderung stagnan sehingga stok mencukupi.
Pada 2021, produksi beras untuk konsumsi pangan penduduk mencapai 31,33 juta ton di tahun 2021. Sementara itu, pada tahun 2020 sebesar 31,50 juta ton dan 2019 sebanyak 31,31 juta ton.
Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), harga beras medium sepanjang tahun ini masih terkendali di kisaran Rp 11.700-11.800 per kg. Namun, data Badan Pusat Statistik menunjukan harga gabah di tingkat petani sudah meningkat 0,68% pada Juli 2022 dibandingkan bulan sebelumnya. Harga beras di penggilingan naik 1,02% pada Juli dibandingkan pada Juni.
Mantan Kepala BPS dan Waki Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengatakan harga beras domestik masih terjaga. Namun, dia mengingatkan pemerintah harus tetap memonitor harga beras karena beras memiliki bobot terbesar dalam perhitungan inflasi Indonesia.
“Kalau nanti beras jebol ini akan menjadi masalah. Kalau bawang putih, bawang merah naik itu kalau menyumbang inflasi itu terjadi sesaat nanti akan turun. Tapi beras itu bahan pokok utama,” tutur Rusman dalam Program Squawk Box, CNBC Indonesia (Rabu, 03/08/2022).
Inflasi Indonesia pernah menjulang pada 2010 karena lonjakan harga beras. Inflasi pada 2010 tercatat 6,96% di mana beras menjadi penyumbang utama dengan kontribusi 1,29%.
Harga beras melonjak karena ada anomali cuaca. Harga beras bahkan melambungkan inflasi kelompok volatile hingga menyentuh 17,74% pada 2010.
Sumber : CNBC Indonesia