Kementan Jelaskan Penyebab Disparitas Harga Pangan

Bisnis.com, JAKARTA – Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian menyebutkan adanya sejumlah masalah di sektor pangan yang memicu tingginya disparitas harga di tingkat produsen dan konsumen.
Sistem rantai pasok yang panjang dan tidak meratanya persebaran sentra produksi komoditas menjadi segelintir pemicu situasi ini.
“Rantai pasok sangat panjang dari produsen ke pengguna, kami juga melihat kondisi harga di produsen dan ke mana saja itu didistribusikan tidak terbuka dengan jelas,” kata Kepala Pusat Distribusi dan Akses Pangan BKP Kementan Risfaheri dalam diskusi yang digelar Kadin Indonesia, Rabu (24/11/2021).

Dia menjelaskan produksi beberapa komoditas yang pasokannya telah bisa dipenuhi dari dalam negeri belum merata di setiap provinsi. Terdapat wilayah-wilayah yang masih defisit, sementara beberapa wilayah lainnya mengalami surplus. Di sisi lain, waktu panen komoditas pangan juga berbeda-beda di sejumlah lokasi.

Hal ini membuat pasokan dari wilayah yang defisit harus dipenuhi dari daerah lain. Proses distribusi acap kali menimbulkan biaya tambahan yang menimbulkan selisih yang lebar dari harga di produsen dan harga konsumen.
Untuk mengatasi kendala tersebut, Rishaferi mengatakan Kementan turut membantu proses distribusi antardaerah. Tetapi, volume yang didistribusikan dia sebut tidak bisa dilakukan secara besar-besaran karena biaya logistik yang cukup besar.

“Kami juga melihat konektivitas [antarwilayah] belum memadai. Misal ketersediaan kapal laut, dari jumlah jadwal dan tarif itu tidak pasti,” tambahnya.

Dia berpendapat ketiadaan jasa logistik yang terintegrasi dan memadai menjadi penyebab ketimpangan harga tersebut. Namun dia meyakini harga komoditas pangan bisa turun jika logistik yang lebih mapan disiapkan.
“Dengan adanya jasa logistik yang terintegrasi dan biaya murah kami yakin masalah harga pangan ini bisa terselesaikan,” katanya.
Sebelumnya, para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia membentuk Badan Logistik dan Rantai Pasok. Badan ini dibentuk untuk mendorong peningkatan efisiensi distribusi barang dalam negeri sehingga produk yang diperdagangkan memiliki daya saing lebih tinggi.
Kepala Badan Logistik dan Rantai Pasok Kadin Indonesia Akbar Djohan menilai pandemi telah mengajarkan RI untuk memperbaiki sistem rantai pasok dalam negeri. Tiga sektor yang menjadi fokus dari badan tersebut adalah kesehatan, pangan, dan energi.
“Ini untuk bisa mengadaptasi dan membangun ekosistem rantai pasok yang efektif sehingga memperkuat fungsi distribusi dan revitalisasi jalur komoditas penting,” kata Akbar.
Mengutip Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (SP2KP), sejumlah komoditas memperlihatkan disparitas yang cukup besar. Hal ini terutama terjadi di wilayah Indonesia Timur.
Sebagai contoh, harga rata-rata gula pasir secara nasional adalah Rp13.100 per kilogram (kg) dengan harga acuan Rp12.500 per kg. Di sentra produksi seperti Jawa Timur, harga rata-rata gula pasir adalah Rp11.995 per kg. Sementara di Papua harga mencapai Rp15.333 per kg.
Hal serupa juga terlihat pada cabai keriting yang harga rata-rata di Sulawesi Selatan berada di angka Rp27.900 per kg. Tetapi, di Jawa Barat, harganya mencapai Rp45.200 per kg.